Slide # 1

Slide # 1

Far far away, behind the word mountains, far from the countries Vokalia and Consonantia, there live the blind texts Read More

Slide # 2

Slide # 2

Far far away, behind the word mountains, far from the countries Vokalia and Consonantia, there live the blind texts Read More

Slide # 3

Slide # 3

Far far away, behind the word mountains, far from the countries Vokalia and Consonantia, there live the blind texts Read More

Slide # 4

Slide # 4

Far far away, behind the word mountains, far from the countries Vokalia and Consonantia, there live the blind texts Read More

Slide # 5

Slide # 5

Far far away, behind the word mountains, far from the countries Vokalia and Consonantia, there live the blind texts Read More

Sabtu, 21 Maret 2009

Korban Kezaliman

Pagi itu udara begitu segar aroma air hujan semalam masih terasa, burung-burung berkicauan bersahut-sahutan diatas pohon manggga yang berbuah lebat menyambut pagi yang asri. Pagi yang indah.
Dari belakang rumah terdengar suara ibu yang membuyarkan lamunanku. Dan aku segera bergegas kebelakang menemui beliau.
Sambil berjalan kebelakang aku sedikit berteriak menjawab panggilan beliau;
“nggih buk..”
Dalam beberapa menit kemudian aku sampai dihadapannya.
“selange digeret nang, digulung.. selak awan panas..”
Dan aku segera berjalan kebelakang rumah mengerjakan amanah yang baru saja aku terima. Dalam perjalanan menuju belakang rumah aku melewati beberapa rumah tetangga. Sejenak aku berhenti didepan rumah joglo, rumah kedua dari rumahku yang dindingnya berwarna hijau. Melihat sosok seorang anak kecil yang keluar dari pintu rumah itu sambil menuntun sepeda bututnya. Dan dia tersenyum melihatku dan menyapaku.
”mas..” sapanya dengan senyum yang khas anak-anak yang masih lugu dan polos.
”nggih..” timpal saya sambil terus melihatnya membawa sepeda bututnya.
Mau kemena pikirku, kepalaku terus melongok melihat kemana arah dia pergi. Ternyata anak laki-laki itu pergi ke sebuah tempat penampungan air didaerahku yang kmaren baru saja mendapat bantuan rehap dari pemerintah. Tempat penampungan air didaerahku berbentuk prisma segi empat yang terbalik, alasnya lebih kecil dari pada permukaannya (atapnya). Dengan panjang 20m, lebar 10m dan kedalaman 5m. Ditepi tempat penampungan air tersebut dipasang pagar besi tralis --untuk menjaga anak-anak agar tidak tercebur-- dan tiga meter keluar dipasang paving.
Ternyata anak laki-laki kecil tadi olahraga bermain sepeda mengitari tempat penampungan air itu. Mimik wajahnya sekilas nampak begitu senang, bersendagurau dengan temen-teman yang bersamanya disitu.
Aku pun tersenyum melihat apa yang baru saja terjadi. Setelah puas menikmatinya, aku pun melanjutkan jalanku untuk menuju belakang rumah dan menggulung selang yang menjalar disepanjang jalan gang rumahku. Selang itu menghubungkan rumahku dengan rumah bulekku. Semalam beliau minta dikasih air untuk keperluan sehari-hari --Maklum didesa, yang pasang air dari PDAM bisa dihitung dengan jari-- setelah selesai menggulung selang dibelakang rumah aku segera bergegas membawanya pulang. Setelah selesai mandi, kami bertiga --aku abah, dan ibuku-- sarapan pagi. Karena hari itu hari minggu jadi kami lebih santai makan paginya. Sambil ngobrol.


***



Setelah makan aku pun keluar rumah kembali memandangi anak laki-laki kecil itu serambi menghampirinya. Melihat mimik wajahnya yang bertabur kebahagiaan serasa aku masih ingin seperti dirinya. Bebas lepas tanpa beban. Lepas seperti burung-burung berterbangan dibawah atmosfer ini.

Tapi semakin memandang jauh kedalam, kebelakang anak laki-laki kecil itu, sempat terfikir olehku tentang nasib dia kelak, masa depan anak itu, dan bagaimana riwayat pendidikannya nanti. Apakah masih bisa sekolah seperti halnya dengan aku yang sekarang. Duduk dibangku kuliah. Melihat status orang tuanya --ayahnya-- yang sekarang menjadi buronan polisi tersangkut dengan kasus perjudian, menjadi bandar judi Togel seantero kota X . Ayahnya pergi entah kemana tak ada yang tau. Sejak saat itu ibunya semakin kalang kabut menanggung beban hidup kedua anaknya. Air matanya kian lama kian kering, mengingat perlakuan suaminya yang tidak bertanggung jawab. Meninggalkan dua anak yang masih kecil yang butuh kasih sayang dari kedua orang tuanya dan butuh kehidupan dan pendidikan layak yang jauh dari apa yang dirasakannya sekarang. Untunglah banyak tetangga dan saudara yang ikut membantunya, paling tidak mengurangi sedikit beban yang diemban ibunya sekarang.
Entah bagaimana perasaan anak itu seandainya tahu apa yang telah menimpa keluarganya saat ini. Apa yang telah dilakukan ayahnya selama ini. Bagaimana perkembangan psikologinya. Entah bagaimana aku juga tidaktahu.
Padahal dikampung anak kecil ini rajin sekali sholat berjamaah, mengaji dan termasuk anak yang gemar membantu orang tua, kakek, dan neneknya. Dan dia juga termasuk anak yang pintar disekolahnya. Selalu mendapatkan peringkat pertama disekolahnya. Sunggguh kasihan akibat kelakuan ayahnya yang seperti itu, mungkin nanti akan menghambat proses belajarnya, membuatnya minder dengan temen-temannya, dan bisa jadi membuat turun prestasinya. Dalam hati aku berdoa semoga bayang-bayang kelam yang mendarat diotakku tak akan pernah terjadi. Dan digantikan dengan anugrah-anugrah terindah yang dapat menguatkan hati, jiwa, dan raganya.
Panggilan temanku yang lewat kembali menyadarkanku dari lamunanku. Dan kami pun ngobrol seraya meninggalkan tempat penampungan air dan juga anak kecil laki-laki itu menuju rumahku yang berjarak tidak begitu jauh dari tempat penampungan air tersebut. Kami berjalan berdua beriringan bak dua teman sejati yang baru bertemu setelah berpisah selama beberapa tahun karena sekolah dan kota yang memisahkannya. Setelah beberapa menit berjalan, akhirnya kami berdua tiba dirumahku. Sambutan hangat terlihat dimimik kedua orang tuaku. Mereka berdua mempersilahkannya untuk masuk. Dan segeralah kami masuk kedalam rumah, delapan menit kemudian keluarlah ketela rebus didampingi dengan teh manis yang hangat menghampiri kami berdua. Wow sungguh pertemuan yang luar biasa dan tak akan kulupakan sepanjang hidupku. Perbincangan kami semakin lama semakin asik, apalagi setelah menghabiskan beberapa potong ketela rebus dan beberapa gelas teh manis yang hangat. Semakin menambah power kami dalam bersua. Apalagi kalau menyangkut bidang politik wah semakin rame saja. Satu sama lain saling mempertahankan argumennya. Bantahan demi bantahan tak terelakkan. dan diselingi tertawa kami yang mencairkan suasana. Tak terasa adzan dhuhur berkumandang dan kami pun menyudahi perbincangan kami dan segera bergegas menuju masjid yang terdekat kami pun segera mengambil air wudlu dan segera memasuki masjid untuk melaksanakan sholat dhuhur berjamaah. Beberapa menit kemudian iqomah dikumandangkan pertanda sholat berjamaah akan segera dilaksanakan. Dan seraya aku maju didepan mengisi shaf yang masih kosong mata ini tak sengaja melihat seorang anak yang baru saja mengumandangkan iqomah. Dan ternyata anak itu adalah anak laki-laki kecil yang aku temui ditempat penampungan air.

0 komentar:

Posting Komentar